Bocah 11 Tahun Pantang disebut Bermental Pengemis di Tengah Wabah Covid-19

Gadingnews.info, Makassar–Dibulan suci Ramadhan dan ditengah pandemi Covid-19, ketika sebagian orang duduk di tepi jalan, mengemis menengadahkan tangan menanti bantuan orang lain, Muhammad Irfan bocah 11 tahun asal Kabupaten Takalar, justru dengan tegarnya berkeliling mengayunkan langkahnya dibawah terik matahari. Puluhan kilometer ia lalui dari Galesong Kabupaten Takalar sampai ke Kota Makassar, demi sesuap nasi.

Namaku Muhammad Irfan, Om. Saya umur 11 tahun. Dari tadi pagi saya keliling jualan buah lontara ini. Alhamdulillah saya sudah dapat Rp 25 ribu sejak pagi saya berangkat dari rumah di Galesong (Kabupaten Takalar) ke Makassar,” kata bocah berbadan gembap ini dengan polosnya saat ditemui seperti yang dilansir INFOSULSEL.COM, Sabtu (9/5/2020) sore.

Di tengah pandemi Covid-19 Irfan tetap saja berjualan. Entah ia sadar atau tidak, wabah virus corona mengintai dirinya. Namun himpitan ekonomi memaksanya harus berjuang demi bertahan hidup. Agar aman, Irfan tak lupa memakai masker. Masker warna abu-abu yang ia pakai pun sudah lusuh. Entah sudah berapa lama masker itu menjadi penutup sebagian wajahnya.

Sehari-hari anak tunggal ini mengandalkan hidup dari berjualan buah lontar. Harga satu gantung Rp 5 ribu. Sudah hampir dua tahun ia menekuni profesinya itu. Buah lontar berwarna putih digantung di antara sebuah bambu yang ia pikul.

Sesekali baru saya keluar rumah keliling pergi menjual. Kalau pulang uang hasil jualan saya berikan ke mamaku,” kata Irfan yang mengaku hanya sekolah sampai kelas 4 SD.

Irfan putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Ayahnya yang juga penjual buah lontar telah meninggal dunia tiga tahun lalu. Untuk membantu ibunya ia terpaksa putus sekolah demi berjualan buah lontar melanjutkan profesi ayahnya. Waktunya untuk bermain seperti bocah seusainya pun ia korbankan.

Bagi Irfan, penghasilan dari berjualan buah lontar tidak menentu. Bahkan pernah ia hanya mendapat Rp 5 ribu. Paling banyak Rp 50 ribu. Sesekali ia mengaku mendapat sampai Rp 100 ribu. Itu pun bukan murni dari hasil penjualan buah lontar.

‘’Biasa ada yang beli satu gantung hanya Rp 5 ribu. Tapi kembaliannya dikasi ke saya,” ujar Irfan dengan polosnya.

 

Irfan lebih memilih jualan dibawah terik matahari dari pada mengemis

Meski harus berjalan kaki disiram terik matahari, Irfan lebih memilih berdagang buah ketimbang harus tinggal di rumah. Apalagi ibunya juga sakit-sakitan.

‘’Kasihan mamaku kalau saya tidak jualan. Apalagi mamaku sudah lama sakit,” kata Irfan, lirih.

Untuk ukuran seusianya, dagangan yang sehari-hari ia pikul sesungguhnya cukup berat. Namun Irfan tak mengeluh. Ia terlihat begitu tegar dan santai menghadapi kenyataan hidup yang ia alami. Termasuk jika dagangannya tidak habis. Meski sesungguhnya ada getir di hati bocah ini.

Selama pandemi ini penghasilan Irfan menurun. Ia bahkan pernah hanya mendapat Rp 5 ribu. Karena tak cukup untuk dibawa pulang ia terpaksa tidur di emperan toko menanti keesokan hari untuk kembali berjualan. Paginya ia kembali melanjutkan berjualan meski perutnya belum terisi.

Nasib baik menghampirinya. Ketika sedang berjalan memikul buah dagangannya, seorang dermawan tiba-tiba membeli 10 gantung. Sisa kembaliannya Rp 50 ribu diberikan pada Irfan.

‘’Untung waktu itu ada orang naik mobil beli 10 gantung. Saya dikasi Rp 100 ribu. Saya bilang tidak ada kembalinya pak, orang itu bilang ambilmi nak,” kenang Irfan, sembari tersenyum.

Irfan mengaku entah sampai kapan ia harus berjualan buah lontar keliling. Apalagi ia sama sekali tak punya bekal pendidikan yang memadai. Begitu juga saat ditanya kelanjutan pendidikannya. Ia hanya tersenyum sambil tertunduk. Ia menggese-gesekkan kakinya yang dialas sendal yang sudah menipis. Ia hanya menggeleng.

‘’Saya tidak tahu, apa saya masih bisa sekolah,’’ katanya pelan.(*/)

Sumber : Infosulsel.com

Pos terkait