Pandemi Covid 19 Tanpa Lockdown Menguji Kedisiplinan WNI Di Swedia

Gadingnews, Jakarta—Keramaian yang masih terdengar dari gelak tawa orang-orang berpadu dengan gemerincing suara piring dan gelas masih terdengar di sejumlah bar dan restoran di Stockholm, Swedia di tengah krisis dunia akibat pandemi virus corona.

Hingga malam tiba, sebagian kafe dan restoran di ibu kota juga masih menerima pelanggan mereka yang ingin duduk santai sambil menyantap makanan bersama para kerabat mereka.

Meski sepi pengunjung, mal-mal dan pusat perbelanjaan lainnya juga masih tetap buka dan menjajakan berbagai potongan harga dan diskon yang menggiurkan pembeli.

Tutut Handayani, seorang warga Indonesia yang sudah sembilan tahun tinggal di Stockholm, menuturkan aktivitas dia dan warga lainnya di Swedia masih berjalan seperti biasa meski risiko terinfeksi virus corona (Covid-19) menghantui mereka.

Perempuan berusia 46 tahun itu mengatakan pemerintah Swedia tidak menerapkan kebijakan ketat apalagi larangan terkait pembatasan pergerakan masyarakat seperti kebanyakan negara Eropa lainnya demi menekan angka penularan corona.

Padahal, berdasarkan data statistik Worldometer per Senin (11/5), Swedia tercatat memiliki 26.322 kasus positif corona dengan 3.225 kematian.

Angka kematian itu terbilang tinggi jika dibandingkan negara lain yang menerapkan lockdown dan pembatasan pergerakan lainnya. Namun, menurut data Business Insider, angka kematian corona di Swedia itu juga masih lebih rendah daripada negara lain yang telah menerapkan lockdown secara ketat.

Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan sebuah lembaga DN/Ipsos, sebagian besar warga Swedia juga bahagia dengan keputusan pemerintahan Perdana Menteri Stefan Lofven yang tak memberlakukan lockdown seperti negara lain.

Tutut menuturkan pemerintah Swedia memang tidak menerapkan kebijakan lockdown namun telah mengeluarkan banyak rekomendasi kesehatan yang perlu dipatuhi masyarakat. Beberapa kebijakan itu meliputi menjaga jarak minimal satu hingga dua meter, tidak bepergian ke negara dengan risiko penularan corona tinggi, boleh berkumpul maksimal 50 orang, dan mencuci tangan sesuai dengan anjuran WHO.

Tapi, tetap saja berbagai rekomendasi ini, tutur Tutut, dikeluarkan pemerintah Swedia tanpa paksaan.

“Berbagai rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Swedia ini sifatnya tergantung pada individu yang bersangkutan untuk mau patuh atau tidak dengan rekomendasi tersebut,” kata Tutut saat bertukar cerita via surat elektronik dengan CNNIndonesia.com pada Minggu (10/5).

Namun, dia mengatakan pihak berwenang tetap memberlakukan sanksi bagi para pelanggar.

“Sanksi tetap ada bagi pelanggar, seperti jika ada restoran atau pub yang buka dan membiarkan para pengunjungnya duduk sangat rapat dan berkerumun. Sanksi bisa berupa denda,” papar Tutut.

Selain tempat publik, Tutut menuturkan layanan transportasi umum juga masih beroperasi normal. Namun, demi melindungi para sopir, perusahaan bus kota meminta para penumpang untuk naik dan turun dari pintu tengah, bukan pintu depan.

“Angkutan umum, seperti bus dan subway pun tetap beroperasi, namun ada aturan yang harus dipatuhi penumpang. Contohnya, penumpang bus harus naik dari pintu tengah, bukan dari pintu depan. Tujuannya, untuk melindungi para sopir bus agar tidak terpapar virus dari penumpang,” kata Tutut.

Mantan wartawan di media Indonesia yang kini mengajar SD di Swedia itu mengaku sedikit was-was dengan kebijakan tanpa lockdown ini. Sebab, ia merasa menjadi salah satu orang yang rentan terpapar virus.

Karena itu, Tutut menuturkan ia mengambil langkah pencegahan sendiri. Ia memilih untuk bekerja dari rumah setelah kantornya memfasilitasi hal itu.

“Saya sudah bekerja dari rumah hampir delapan minggu. Saya guru SD dan saya termasuk orang yang berisiko karena mudah flu, demam, dan batuk. Jadi, saya mengajukan izin untuk bekerja dan mengajar dari rumah,” paparnya.

Meski bosan, Tutut juga membatasi diri untuk bepergian ke luar rumah. Ia menargetkan belanja ke supermarket dua hingga tiga hari sekali untuk membeli kebutuhan dapur saja. Jika memungkinkan, Tutut juga lebih memilih membeli makanan take-away daripada datang ke restoran.

“Saya jadinya jarang ketemu dan kumpul-kumpul dengan kawan. Tidak mengundang mereka ke rumah,” kata Tutut.

Ia mengamati sebagian warga Swedia juga melakukan hal serupa. Meski tidak ada aturan ketat hingga larangan berkumpul, warga Swedia tetap mematuhi rekomendasi-rekomendasi pemerintah soal pencegahan penularan corona.

“Menurut saya, kebijakan tanpa lockdown ini akan sangat berhasil jika seluruh individu yang ada di Swedia punya kepedulian tinggi, bersikap dan berpikir dewasa bahwa apa yang kita lakukan saat ini, sekalipun diri kita sehat, juga bisa berdampak pada kondisi orang lain di sekitar kita,” ucapnya.

“Patuhilah aturan dan rekomendasi pemerintah sebaik dan sebisa mungkin. Jangan bersikap egois dan ignorant,” katanya menambahkan.

Tutut pribadi merasa kurang puas dengan kebijakan yang diambil pemerintah Swedia dalam menangani pandemi. Menurutnya, rekomendasi yang mengandalkan kedewasaan berpikir dan bersikap para warganya tidak cukup membendung penularan corona jika diberlakukan tanpa sanksi yang tegas.

Menurutnya, sanksi bisa dijadikan pembelajaran bagi sebagian warga yang tidak peduli terhadap kondisi dan aturan yang berlaku.

“Untuk kasus pandemi ini, pemerintah Swedia yang terkenal sangat demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan individu, harusnya lebih bersikap tegas dengan didukung oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah dan sanksi hukumnya dan bersifat
nasional,” ujar Tutut. (fachrul)

Pos terkait