GADINGNEWS, MAKASSAR – Abdul Kahar Muzakkar mati tertembak di hari raya Idul Fitri 1386 H, tepatnya pada 3 Februari 1965. Pasukan Operasi Tekad sempat berpikir sebelum melakukan eksekusi lantaran Kahar dikenal sebagai sosok yang mistis.
Kahar ditembak mati dalam operasi TNI menumpas pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). TNI mulanya membentuk Komando Operasi Penumpasan Pemberontakan DI/TII di wilayah Sulsel dan Sultra pada tahun 1962.
Dalam Operasi Penumpasan ini, di dalamnya dibentuk Komando Operasi Kilat yang dikomandoi langsung oleh Panglima Kodam XIV Hasanuddin Kolonel Muhammad Jusuf. Hanya saja pasukan Kodam XIV kesulitan.
Dalam buku Sejarah Terbunuhnya Kahar Muzakkar di Hutan, disebutkan bahwa 75 persen wilayah Sulsel dan Sultra dikuasai oleh Kahar Muzakkar dan pasukannya. Selain itu, dengan dengungan nuansa Islam DI/TII juga mendapatkan dukungan dari masyarakat.
TNI saat itu belum mampu menumpas pergerakan gerombolan DI/TII saat itu. Operasi Kilat pun dibagi menjadi dua yakni Operasi Tekad I dan Operasi Tekad II.
Dalam Operasi Tekad I pasukan diarahkan ke daerah sekitar kaki Gunung Latimojong. Sedangkan Operasi Tekad II difokuskan pada wilayah Sulawesi Tenggara. Kedua wilayah ini diyakini sebagai tempat bersembunyinya pasukan DI/TII dan Kahar Muzakkar.
Lewat pencarian di sekitar Gunung Latimojong, Kahar Muzakkar tidak ditemukan. TNI lantas menginterogasi pasukan DI/TII yang ada di sana tetapi hanya sedikit yang mampu memberikan petunjuk keberadaan Kahar Muzakkar.
Kahar Muzakkar lalu diduga sudah lama meninggalkan kawasan Gunung Latimojong, menuju Sulawesi Tenggara. Diduga Kahar bersama pasukannya memilih wilayah Sultra sebagai medan operasi mereka selanjutnya, karena hutannya masih luas sehingga ia bisa lebih aman bergerilya.
Dua pleton pasukan Komando TNI (RPKAD) pun ditugaskan ke Sultra, sekitar Danau Towuti pada 6 Agustus 1964. Kedua pleton ini bertugas untuk mencegat pasukan DI/TII demi memastikan keberadaan Kahar Muzakkar di wilayah itu.
Dalam pengepungan itu, pasukan menangkap menteri, panglima, dan pasukan DI/TII, serta membebaskan ratusan rakyat. Namun kala itu Kahar Muzakkar berhasil melarikan diri.
Sejak itu, Kahar Muzakkar bersama sisa pasukannya mengatur strategi gerilya, dengan terus bergerak dari satu tempat ketempat lainnya. Selanjutnya pada 21 Januari 1965 pasukan TNI menggeledah gubuk salah seorang ajudan Kahar Muzakkar yang telah memisahkan diri.
Di gubuk itu ditemukan dokumen rahasia yang berisikan Kahar Muzakkar melakukan pergerakan secara mobile di tiga tempat yakni Wiau, Laeju, dan Lawawi.
Belakangan, Menteri Kehakiman DI/TII bernama Djunaed Sulaeman dan keluarga serta beberapa pengikutnya menyerah.
Selanjutnya para komandan pasukan DI/TII satu persatu diinterogasi mengenai keberadaan Kahar Muzakkar, namun mereka bungkam.
TNI tak berputus asa, mereka tersus membujuk hingga akhirnya pihak komando operasi TNI mendapatkan informasi yang sangat diperlukan, bahwa saat ini Kahar Muzakkar bersama pasukannya yang tersisa tengah menyusuri Sungai Lasolo menuju hilir di Laut Banda.
Dari informasi yang akurat itu, pada 2 Februari 1965, sehari sebelum tertembaknya Kahar Muzakkar, Peltu Umar bersama pasukan yang dipimpinnya yang masih berada di dalam hutan diperintahkan untuk terus bergerak menyusuri Sungai Lasolo.
Di hari yang sama pada pukul 15.00, La Passe sang penunjuk jalan melihat seorang lelaki keluar dari gubuk kedua. Seketika La pesse berbisik kepada Peltu Umar ‘Itu Kahar Muzakkar’.
Bisikan itu pu membuat bulu roma tubuh Peltu Umar berdiri. Ia tidak menyangka bakal bertemu dengan orang yang selama ini dicari dan telah menjadi mitos di tengah masyarakat.
Hal ini juga tak terlepas dari mitos mengenai Kahar Muzakkar. Dia dikenal sebagai sosok pemimpin yang memiliki kelebihan dalam hal mistik. Dia juga memiliki kemampuan bisa menghilang, berubah wujud menjadi binatang, hingga kebal terhadap peluru.
Kendati begitu, Peltu Umar mencoba untuk tetap fokus dalam menjalankan tugas. Namun penyergapan saat itu tak langsung dilakukan lantaran hari semakin gelap. Peltu Umar menyimpulkan penyergapan dilakukan esok pagi.
Hari itu 3 Februari 1965 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriyah, perlahan matahari mulai menyingsing. Para prajurit tetap membeku di tempatnya masing-masing dan menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.
Sekitar Pukul 05.30 pagi, Kahar Muzakkar terbangun dan keluar dari gubuknya, kemudian masuk lagi. Seorang pasukan DI/TII juga tampak keluar menuju arah rakit. Ia menyadari kalau pasukan TNI sedang berada di sekitarnya dan secara spontan langsung berbalik ke arah gubuk untuk melaporkan adanya pasukan TNI.
Saat itu, pasukan TNI yang berada paling dekat dengan gubuk tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dengan langsung menembakkan peluru dan disusul suara rentetan tembakan lainnya. Orang-orang yang berada di dalam gubuk tersebut langsung berhamburan keluar menyelamatkan diri.
Kahar Muzakkar yang mengenakan kaos oblong lengan panjang keluar dari gubuk sambil menenteng ransel berlari ke arah batu besar untuk berlindung. Akan tetapi, belum sempat sampai, Kopral Sadeli yang berada di dekat batu besar tersebut langsung menembakkan peluru dari senapan Thomson miliknya.
Sebenarnya, Kopral Sadeli belum menyadari jika orang yang ia tembak adalah Kahar Muzakkar. Dia baru sadar ketika ia teringat foto Kahar Muzakkar yang diperlihatkan kepada setiap prajurit TNI yang akan melakukan operasi militer.
Setelah kondisi tenang, mayat-mayat yang tertembak dikumpulkan. Di sinilah Kopral Sadeli baru yakin bahwa orang yang ia tembak tadi adalah pemberontak yang selama ini dicari-cari, yakni Kahar Muzakkar.
(***)