LPSK Tolak Penggunaan Instrumen UU TPKS Putri Candrawathi Sebagai Korban Pelecehan Seksual

Gadingnews.com, Jakarta–Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi membeberkan alasan pihaknya tak memberi perlindungan kepada Putri Candrawathi (PC) sebagai korban dugaan pelecehan seksual dalam kasus pembunuhan Brigadir J.

Edwin mengatakan isu yang berkembang belakangan adalah seolah-olah ada upaya untuk meminta LPSK menerima hasil asesmen psikologis yang sudah dilakukan. Padahal, LPSK bisa melakukan asesmen psikologis sendiri sebagai second opinion.

Bacaan Lainnya

“Pertanyaan kami, kenapa Ibu PC tidak bersedia memberikan keterangan kepada psikolog LPSK. Padahal, ibu PC bersedia menjelaskan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kok ngomong milih-milih,” kata Edwin di Bandung pada Jumat (23/9).

Edwin menjelaskan posisi PC adalah pemohon perlindungan LPSK, namun tidak mau menyampaikan apapun pada LPSK. LPSK melihat PC tidak antusias dan tidak responsif.

“Hanya ibu PC yang seperti itu, selama 14 tahun LPSK berdiri,” jelasnya.

Dari situ LPSK melihat ada kejanggalan dan ketidaklaziman dalam kasus dugaan tindak kekerasan seksual pada rangkaian kasus pembunuhan Brigadir J.

Dilansir CNNIndonesia, Minggu(25/9), Ia pun menolak penggunaan instrumen legal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk menjustifikasi PC sebagai korban.

Edwin mengungkapkan UU TPKS tidak digunakan untuk melindungi orang seperti Putri, tapi melindungi korban yang sebenarnya.

“Dalam kasus kekerasan seksual, perlu ada relasi kuasa, dan pelaku memastikan tidak ada saksi. Dua-duanya gugur dalam kasus Ibu PC (Putri Candrawathi),” jelas Edwin.

Edwin menilai penggunaan UU TPKS justru menjadi tameng untuk melindungi Putri Candrawathi walaupun kasus dugaan kekerasan seksual tak ditemukan.

UU TPKS justru dijadikan instrumen hukum tanpa ada pembuktian apakah ada kekerasan seksual atau tidak.

“UU TPKS dijadikan instrumen legal melindungi Ibu PC, tanpa ada upaya membuktikan apakah posisi Ibu PC sebagai korban kekerasan seksual itu benar atau tidak,” kata Edwin.

Edwin menceritakan, penyebutan UU TPKS muncul pertama kali dalam kasus PC pada 29 Juli, ketika dilakukan rapat koordinasi di Polda Metro Jaya, yang dipimpin oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Umum (Wadirkrimum) Polda Metro Jaya, AKBP Jerry Raymond Siagian.

Dalam pertemuan yang dihadiri antara lain oleh LPSK, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tenaga ahli Kantor Staf Presiden, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Psikolog dijelaskan, berdasarkan UU TPKS, LPSK harus melindungi Putri. Padahal, dalam laporan polisi yang dibuat tanggal 8 dan 9 Juli, UU TPKS tidak disebutkan. Dalam dua laporan itu hanya menjelaskan adanya perbuatan asusila.(**)

Pos terkait