GADINGNEWS, MAKASSAR – Istilah hukuman mati kini ramai diperbincangkan usai Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Simak ulasan lengkap mengenai apa itu hukuman mati serta tata cara pelaksanaannya di Indonesia berikut ini.
Apa Itu Hukuman Mati?
Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan nyawa terhadap terpidana.
Sementara itu, dikutip dari laman Kemenkumham Sulsel, hukuman mati atau pidana mati adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Dalam bahasa Belanda, hukuman mati dikenal dengan istilah doodstraf.
Hukuman pidana mati merupakan perbuatan negara dalam mematikan pelaku tindak pidana yang telah diputuskan bersalah oleh pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukan.
Sejarah Hukuman Mati
Menilik dari sejarahnya, sanksi hukuman mati di Indonesia telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels berkuasa di Indonesia tahun 1808. Kala itu, hukuman mati umumnya diberikan kepada warga pribumi yang tidak mau dijadikan suruhan atau tidak menuruti perintah Daendels.
Sementara itu, dikutip dari laman Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), pidana mati di dunia telah digunakan pada abad 18 Sebelum Masehi (SM). Saat itu, dalam hukum yang diberlakukan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia, terdapat 25 kasus kejahatan yang dijatuhi pidana mati.
Pada abad 14 SM hingga 5 SM, pidana mati juga diberlakukan di Athnea (Dracodian Code) dan Kerajaan Romawi (Twelve Tablet). Pidana mati tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang cukup keji dalam pandangan modern seperti; penyaliban, penenggelaman, penyiksaan hingga tewas, dibakar, dan lain-lain.
Kemudian, di tahun 1890, Negara bagian New York, Amerika Serikat mengembangkan kursi listrik dan awalnya dilakukan di pada tahun 1890 untuk mengeksekusi Raja William. Hingga saat ini, hanya negara bagian Nebraska yang memberlakukan kursi listrik sebagai metode eksekusi pidana mati.
Pada tahun 1924, negara bagian Nevada kemudian menggunakan kamar gas dengan sianida sebagai metode eksekusi pidana mati. Hukuman dengan metode ini terakhir digunakan pada tahun 1999.
Hingga Juni 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia. Lebih dari setengah negara-negara di dunia bahkan telah menghapuskan praktek hukuman mati.
Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
Pelaksanaan Pidana Hukuman Mati di Indonesia
Dikutip dari Jurnal UIN Raden Intan Lampung berjudul ‘Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’, pelaksanaan pidana mati yang dilakukan di Indonesia pada mulanya diatur dalam Pasal 11 KUHP. Pidana Mati ini dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, lalu menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
Pelaksanaan eksekusi pidana mati ini lalu diubah melalui Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964. Dalam undang-undang tersebut, pidana mati yang dijatuhkan di lingkungan Peradilan Umum atau Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Perubahan ini dilakukan karena ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati sebelumnya dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kemajuan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia.
Kemudian, pelaksanaan pidana mati kembali mengalami pembaharuan dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Adapun pelaksanaan pidana mati menurut Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964, sebagai berikut:
1. Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama;
2. Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut, setelah mendengar nasihat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati;
3. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu regu penembak dari Brigade Mobil yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tantama, di bawah pimpinan seorang Perwira;
4. Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup, dapat disertai oleh seorang perawat rohani, berpakaian sederhana dan tertib;
5. Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup
mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendaki;
6. Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut, jika dipandang perlu Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya, ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu;
7. Setelah terpidana siap ditembak, regu penembak dengan senjata sudah diisi menuju tempat yang ditentukan, jarak antara titik dimana terpidana berada dengan regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter, dan tidak boleh kurang dari 5 meter;
8. Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati;
9. Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana, dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak;
10. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya;
11. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter;
12. Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab memutuskan lain.