Gadingnews.com, Jakarta–Hakim Agung Eddy Army menilai Djoko Tjandra layak dibebaskan karena yang perbuatannya adalah perkara perdata. Namun empat hakim agung lainnya berpendapat sebaliknya sehingga Djoko Tjandra tetap dihukum 2 tahun penjara di kasus korupsi Rp 546 miliar.
Suara Hakim Agung Eddy Army kalah dengan empat Hakim Agung lainnya, yaitu Andi Samsan Nganro, Suhadi, Prof Surya Jaya, dan Sri Murwahyuni. Berikut alasan Eddy Army meminta agar Djoko Tjandra dibebaskan seperti dilansir website MA, Rabu (7/9/2022):
A. Alasan Yuridis Formil Permohonan Peninjauan Kembali II (Kedua) dari Terpidana
Bahwa meskipun permohonan peninjauan kembali I (pertama) yang diajukan Terpidana terhadap Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 K/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 ditolak Mahkamah Agung sesuai Putusan Peninjauan Kembali Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012, demikian pula meskipun permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali sebagaimana dimaksud Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014, namun permohonan peninjauan kembali II (kedua) dari Terpidana secara formil dapat diterima dengan pertimbangan yuridis sebagai berikut:
1. Tentang Asas Hukum Umum Peninjauan Kembali;
Bahwa norma hukum peninjauan kembali dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut di atas, hanya memuat asas hukum umum tentang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya merupakan lex generalis serta berlaku umum terhadap semua pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik terhadap putusan perkara pidana, putusan perkara perdata, putusan perkara perdata agama, putusan perkara pidana militer maupun putusan perkara tata usaha negara. Norma hukum peninjauan kembali dalam kedua pasal tersebut di atas sama sekali tidak mengatur secara khusus tentang pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap;
2. Tentang Ketentuan Khusus Peninjauan Kembali;
Bahwa norma hukum tentang peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, telah diatur terlebih dahulu secara khusus dalam Bab XVIII tentang Upaya Hukum Luar Biasa pada Bagian Kedua KUHAP sebagaimana jelasnya dimaksud Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP.
Bahwa selain itu, tentang keberadaan norma hukum bersifat khusus tentang permohonan peninjauan kembali terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap juga telah diatur dan ditegaskan dalam norma hukum Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menyatakan “Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”;
Bahwa frasa “digunakan” acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam norma hukum Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 di atas, telah lebih dari cukup untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa pengaturan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus dilakukan dan dilaksanakan secara khusus dengan memedomani norma hukum pada Bagian Kedua tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP, yang tiada lain adalah merupakan norma hukum lex specialis derogat legi generalis tentang Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Pengadilan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap, yang secara jelas dan tegas telah mengatur secara khusus tentang dasar-dasar, persyaratan dan pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali tidak termasuk Jaksa/ Penuntut Umum, tata cara, prosedur penerimaan berkas, pemeriksaan di muka sidang peninjauan kembali dan jenis putusan yang dapat dijatuhkan pada permohonan peninjauan kembali, adalah merupakan pengaturan peninjauan kembali secara khusus dalam perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (lex specialis), tentu termasuk norma hukum Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 06 Maret 2014;
3. Tentang Asas Litis Finiri Oportet dan Lex Specialis Derogat Legi Generalis;
Bahwa selain itu, meskipun dalam ilmu hukum dikenal asas litis finiri oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun asas tersebut hanya dipandang dan lebih berkaitan dengan kepastian hukum saja. Sedangkan demi keadilan, kemanfaatan hukum secara bermartabat dan demi tegaknya kebenaran materiil dalam perkara pidana, asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan kalau hanya membolehkan peninjauan kembali dilakukan satu kali;
Bahwa asas litis finiri oportet tersebut dan keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang mengatur peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali, justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945);
Bahwa selain itu, perdebatan mengenai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum, tiada lain dan tidak dapat dipungkiri adalah sebagai konsekuensi dari asas negara hukum yang selama ini dianut Republik Indonesia, dan akhir dari perdebatan itu dipastikan bahwa justru keadilan dan kemanfaatan hukum yang bermartabat yang lebih diutamakan;
Bahwa demikian pula dalam pelaksanaan identifikasi aturan hukum dalam praktek peradilan tidak jarang dan bahkan sering dijumpai antinomi hukum (konflik antar norma hukum) seperti ersebut di atas, maka terhadap hal tersebut akan berlaku asas preferensi hukum (asas penyelesaian konflik norma hukum) berupa “lex specialis derogat legi generalis”, yaitu peraturan perundang-undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundangan-undangan yang umum;
4. Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final, Binding dan Erga Omnes; Bahwa oleh karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, binding dan erga omnes, maka dengan sendirinya dan dengan serta merta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU- IX/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah berkekuatan hukum tetap, mengikat dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, sehingga eksistensi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang mengatur dan membatasi permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan satu kali secara yuridis tidak tepat dipertahankan lagi, karena disamping materinya bertentangan dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstititusi tersebut, juga secara hierarkis kedudukan KUHAP jauh lebih tinggi ketimbang Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut sebagaimana dimaksud Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bahwa selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang mengatur dan membatasi permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan satu kali, ternyata konsiderans Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 tersebut satu sama lain saling bertentangan dengan muatan materi yang diaturnya, yakni di lain pihak tetap mempertimbangkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang menyatakan norma hukum Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, namun di pihak lain justru materi Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tetap mengatur dan membatasi permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan satu kali. Oleh karena itu, demi tegaknya kebenaran materiil, kemanfaatan hukum dan keadilan yang bermartabat, maka keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 tidak tepat lagi dipertahankan sebagai panduan atau pedoman bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dapat dilakukan satu kali;
5. Tentang Asas Adagium Interpretio Cessat in Claris (Norma yang Sudah Jelas Tidak Dapat Ditafsirkan Lagi);
Bahwa selain itu, Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 K/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum yang tidak berhak, sama sekali keliru dan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang nyata, karena judex juris dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum tersebut ternyata dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak sesuai, bertentangan dengan dan bahkan melanggar hukum formil yang mengatur secara khusus tentang pemeriksaan peninjauan kembali perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud Pasal 3 KUHAP, Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP, yang secara jelas, tegas,
limitatif dan tuntas telah mengatur segala sesuatu mengenai peninjauan kembali sesuai asas adagium interpretio cessat in claris, yaitu:
a. Melanggar Pasal 3 KUHAP yang mengatur bahwa peradilan harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini, tetapi judex juris justru menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/ Penuntut Umum yang tidak berhak dan tidak menurut cara yang diatur dalam KUHAP;
b. Melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang mengatur hanya Terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali, namun judex juris justru menerima dan mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum yang tidak berhak;
c. Melanggar Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan, bukan diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum;
d. Melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang mengatur tidak boleh menjatuhkan pidana melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, namun judex juris menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan kepada Terpidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, padahal Terpidana dalam putusan semula tidak pernah dijatuhi pidana;
e. Melanggar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, yaitu judex juris dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo tidak menggunakan norma hukum acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan yuridis di atas, demi terwujudnya keadilan dan kemanfaatan hukum yang bermartabat serta demi tegaknya kebenaran materiil, maka permohonan peninjauan kembali kedua dari Terpidana dalam perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, beralasan hukum secara formil dapat diterima.
B. Tentang Alasan Yuridis Formil Permohonan Peninjauan Kembali yang Diajukan Jaksa/Penuntut Umum terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/Pid/2000 Tanggal 28 Juni 2001 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/ PN.JKt.Sel. Tanggal 28 Agustus 2000;
Bahwa sebelum melanjutkan pertimbangan yuridis substantif materiil terhadap permohonan peninjauan kembali kedua yang diajukan Terpidana, dipandang perlu mempertimbangkan terlebih dahulu alasan yuridis judex juris yang menyatakan secara formil permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum dapat diterima.
Terhadap Alasan “Demi Memelihara Konsistensi dan Keseragaman Putusan Mahkamah Agung (Consitency in Court Decision) dan Membandingkannya dengan Beberapa Putusan yang Menerima Permohonan Peninjauan Kembali yang Diajukan Jaksa/Penuntut Umum” (putusan judex juris halaman 85 dan seterusnya);
Bahwa alasan yuridis judex juris sedemikian rupa itu, dengan membandingkannya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 atas nama Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001 atas nama Ram Gulumal alias V. Ram, Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 PK/Pid/2006 tanggal 19 Juni 2006 atas nama Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008 atas nama Pollycarpus, sama sekali keliru dan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang nyata;
Bahwa betapa tidak tepat dan kelirunya pertimbangan judex juris tersebut, karena antara putusan peninjauan kembali atas nama Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., putusan peninjauan kembali atas nama Ram Gulumal alias V. Ram, putusan peninjauan kembali atas nama Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih dan putusan peninjauan kembali atas nama Pollycarpus, ternyata dan terbukti satu sama lainnya sangat berbeda, tidak sama, tidak serupa dan bahkan tidak sebanding dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 atas nama Terpidana. Dalam putusan a quo Terpidana selaku Direktur PT Era Giat Prima diajukan Penuntut Umum ke muka sidang dengan dalil dakwaan karena PT Era Giat Prima tidak memenuhi beberapa klausul perjanjian yang telah disepakati dengan PT Bank Bali dalam menagih piutang PT Bank Bali yang ada pada PT Bank Dagang Negara Indonesia dan PT Bank Umum Nasional yang berada dalam pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp546.468.544.738,00 (lima ratus empat puluh enam miliar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah), sesuai Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999, yang menurut asumsi Penuntut Umum dan pertimbangan judex juris tanpa diikuti penyerahan dokumen bukti transaksi dan penyerahan jaminan pembayaran;
Bahwa sedangkan dalam perkara Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., diajukan Penuntut Umum ke muka sidang dengan dalil dakwaan sebagai Ketua Umum Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) bertanggung jawab dalam beberapa kasus unjuk rasa yang terjadi dan bahkan ada unjuk rasa yang terjadi pada saat Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.H., sedang menjalani tahanan di Rutan Semarang, dalam perkara Ram Gulumal alias V. Ram diajukan Penuntut Umum ke muka sidang dengan dalil dakwaan memasukkan keterangan palsu dalam akta autentik, dalam perkara Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih diajukan Penuntut Umum ke muka sidang dengan dalil dakwaan merusak sesuatu barang, demikian pula dalam perkara atas nama Pollycarpus diajukan Penuntut Umum dengan dalil dakwaan pembunuhan berencana terhadap Munir;
Bahwa dengan demikian, ternyata dan terbukti putusan yang dirujuk dan dibandingkan oleh judex juris dengan beberapa putusan tersebut di atas satu sama lain tidak mempunyai kesamaan fakta, tidak ada kesamaan peristiwa dan tidak memiliki kesamaan dasar hukum dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 atas nama Terpidana. Oleh karena itu, sangat tidak tepat secara yuridis alasan judex juris demi memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung dan demi terwujudnya kesatuan hukum, kemudian merujuk dan membandingkannya dengan beberapa putusan lain tersebut di atas yang sama sekali belum pernah diuji atau dieksaminasi atau dinotasi oleh Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung, maka dengan sendirinya putusan-putusan yang dirujuk dan dibandingkan judex juris tersebut tidak tepat dipandang sebagai panduan atau petunjuk (guidance) bagi hakim dengan alasan demi menjaga kesatuan atau keseragaman putusan;
Bahwa selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tanggal 12 Agustus 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa tingkat keberlakuan, kedudukan dan kekuatan hukum Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP yang mengatur secara khusus tentang peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, jauh lebih kuat dan lebih tinggi ketimbang kedudukan putusan-putusan yang dirujuk dan dibandingkan oleh putusan judex juris tersebut;
1. Bahwa juga menjadi bias dan ambigu, apakah judex juris menggunakan metode penemuan hukum dengan membandingkan perkara yang satu dengan perkara yang lainnya yang satu sama lain sangat berbeda dan tidak memiliki kesamaan fakta, peristiwa dan dasar hukum itu, apakah dimaksudkan atau dapat dipersamakan dengan menggunakan interpretasi komparatif. Namun metode pencarian dan penemuan alasan formil sedemikian rupa itu demi dapat diterimanya permintaan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum, jelas merupakan pelanggaran berat terhadap norma- norma hukum peninjauan kembali dalam KUHAP yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia Terpidana dari kesewenang-wenangan negara dan justru judex juris mengorbankan asas kebenaran dan keadilan yang bermartabat;
2. Terhadap Alasan “Pihak-Pihak yang Bersangkutan dalam Perkara Pidana Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali Tiada Lain Adalah Penuntut Umum dan Terpidana (Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009)”, putusan judex juris halaman 94 dan seterusnya;
– Bahwa meskipun pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dan telah diubah dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, namun pertimbangan dan alasan yuridis judex juris tersebut tidak tepat, keliru serta jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang nyata, karena norma hukum peninjauan kembali dalam pasal tersebut hanya memuat ketentuan umum tentang peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang hanya merupakan lex generalis dan berlaku umum untuk semua pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena norma hukum yang bersifat khusus tentang permohonan peninjauan kembali terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap justru telah diatur secara tegas dalam norma hukum Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Bahwa untuk maksud tersebut, Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagai lex specialis derogat legi generalis (peraturan perundang-undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundangan-undangan yang umum) telah mengatur dan menegaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Bahwa dengan demikian, berdasarkan ketentuan khusus tentang peninjauan kembali Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut di atas, hanya terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Jika ditafsirkan lagi bahwa Jaksa/Penuntut Umum juga dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali, tentu menimbulkan permasalahan baru siapa yang akan menjadi ahli waris Jaksa/Penuntut Umum di kemudian hari?;
3. Terhadap Alasan “KUHAP Tidak Melarang Jaksa/Penuntut Umum Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali” (putusan judex juris halaman 86 dan seterusnya dan halaman 95 dan seterusnya);
Bahwa alasan yuridis judex juris sedemikian rupa itu juga keliru dan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim yang nyata, karena dipastikan KUHAP sebagai hukum pidana formil memang tidak memuat norma larangan-larangan atau norma perintah- perintah, hukum pidana formil hanya memuat norma hukum yang mengatur dan menata-laksana supaya hukum pidana materiil dapat terlaksana dengan baik dan tertib. Hanya hukum pidana materiil saja yang memuat norma larangan-larangan atau perintah-perintah yang diikuti dengan ancaman pidana bagi setiap orang yang melanggarnya;
Bahwa dengan demikian, dalam norma hukum pidana formil, bila sesuatu hal tidak secara tegas dilarang tidak berarti serta merta dibolehkan, misalkan tidak ada larangan pemeriksaan saksi di muka sidang dilakukan secara bersama-sama dan sekaligus dengan para saksi lain di muka sidang, tidak berarti serta merta para saksi boleh diperiksa secara bersama-sama dengan para saksi lainnya, atau tidak ada larangan berjalan di sebelah kanan jalan, tidak berarti serta merta boleh berjalan di sebelah kanan jalan;
Bahwa selain itu, dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah lembaga peninjauan kembali telah ditanggapi oleh berbagai Fraksi di DPR dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979, bahwa “Lembaga peninjauan kembali ini justru diadakan untuk melindungi kepentingan Terpidana”, sama sekali bukan untuk kepentingan Penuntut Umum (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Dep. Kehakiman RI, halaman 119 dan seterusnya, halaman 215 dan seterusnya, halaman 226 dan seterusnya);
Bahwa pasal-pasal tentang peninjauan kembali harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 3 yang menyatakan bahwa “Peradilan harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”, dan Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa “Terdakwa atau Penasihat Hukum selalu mendapat giliran terakhir”, maka jelaslah bahwa peninjauan kembali adalah juga upaya hukum luar biasa terakhir bagi Terpidana, dan sama sekali bukan diperuntukkan bagi Jaksa/Penuntut Umum.
Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya tentang asas legalitas dalam KUHAP (Pasal 3 KUHAP) yang merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, maka uraian yuridis tersebut adalah alasan historis untuk membantah asumsi bahwa Jaksa/Penuntut Umum tidak dilarang mengajukan peninjauan kembali;
Bahwa khusus dalam perkara a quo, sekiranya Jaksa/ Penuntut Umum telah menemukan bukti-bukti baru tentang dugaan tindak pidana dilakukan oleh Terpidana yang sama, sebenarnya Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan baru sepanjang tidak bertentangan dengan asas ne bis idem;
4. Tentang Permintaan Peninjauan Kembali Coba-Coba dari Jaksa/Penuntut Umum;
– Bahwa selanjutnya demi kebenaran materiil dalam perkara a quo, tidak berkelebihan kiranya dikutip pernyataan Antasari Azhar, S.H., yang juga merupakan Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara a quo Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jkt.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 atas nama Terpidana, yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum terhadap beberapa perkara tersebut di atas adalah permohonan peninjauan kembali coba-coba, dengan menyatakan bahwa “Penyimpangan dalam praktik peradilan terjadi ketika Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali coba-coba yang diajukan oleh Jaksa pada masa rezim Orde Baru (otoriter), masyarakat berpikir – pada saat itu masih dapat memakluminya. Namun kemudian setelah rezim otoriter tumbang, ternyata Mahkamah Agung tetap menggunakan pertimbangan putusan tersebut sebagai rujukan, seperti pada putusan RAM Gulumal dalam perkara Nomor 03 PK/Pid/2001, putusan Soetyawati dalam perkara Nomor 15 PK/Pid/2006, putusan dr. Eddy Linus dkk dalam perkara Nomor 54 PK/Pid/2006 dan putusan Pollycarpus dalam perkara Nomor 109 PK/Pid/2007 (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 halaman 17 dan seterusnya). Terlepas dari apakah benar atau tidak pernyataan Antasari Azhar, S.H. tersebut, namun pernyataan dimaksud cukup menjadi bukti bahwa dengan alasan untuk dan demi memelihara keseragaman putusan, justru judex juris sendiri mengorbankan asas keadilan yang selama ini dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman di Negara Republik Indonesia dalam menegakkan hukum dan keadilan, dengan cara melakukan pelanggaran berat terhadap norma-norma hukum peninjauan kembali sebagaimana telah diatur dengan baik dalam KUHAP;
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan yuridis di atas, demi terwujudnya keadilan dan kemanfaatan hukum yang bermartabat serta demi tegaknya kebenaran materiil, maka berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHAP permohonan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum secara yuridis formil seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, justru permohonan peninjauan kembali kedua dari Terpidana beralasan hukum secara formil dapat diterima.
C. Terhadap Alasan Yuridis Materiil Substantif Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 juncto Putusan Peninjauan Kembali Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 20 Februari 2012;
Bahwa terhadap alasan yuridis judex juris yang menyatakan tagihan PT Bank Bali kepada PT Bank Dagang NasionaI Indonesia tidak sah karena tidak dapat diverifikasi dan tidak tercatat di Bank Indonesia, tidak adanya teguran dari Bank Indonesia tidak berarti tagihan tersebut dapat dibenarkan, PT Eria Giat Prima tidak memberikan prestasi apapun kepada PT Bank Bali bahkan PT Era Giat Prima memberikan kuasa kembali kepada PT Bank Bali, hal mana menjadi nyata bahwa transaksi tersebut adalah transaksi cessie fiktif (vide Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 halaman 114 dan seterusnya dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012 halaman 233 dan seterusnya). Pertimbangan yuridis tersebut adalah keliru dan memperlihatkan kekhilafan hakim yang sangat nyata karena pertimbangan substantif tersebut sedemikian singkatnya, sumier, tidak jelas, tidak lengkap (onvoldoende gemotiverd);
Bahwa berdasarkan fakta hukum yang relevan secara yuridis yang terungkap di muka sidang, yang diperoleh dari persesuaian antara keterangan saksi Iwan Ridwan Prawiranata dan Dargono Lisan masing- masing selaku mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Subarjo Joyosumarto selaku mantan Direktur Bank Indonesia, Glen Muhammad Surya Yusuf selaku mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Erman Munzir selaku Kepala Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Bank Indonesia (UPPB BI), R.C. Eko Santoso Budianto selaku mantan Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syahril Sabirin selaku mantan Gubernur Bank Indonesia, Rudy Ramli, Firman Sutjahja dan Terpidana, yaitu:
Bahwa berawal dari Rudy Ramli selaku Direktur Utama PT Bank Bali Tbk selaku Bank Kreditur kesulitan mengajukan hak tagih piutangnya pada PT Bank Dagang NasionaI Indonesia dan PT Bank Umum Nasional selaku Bank Debitur yang berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Indonesia, karena berdasarkan Surat Keputusan Bersama I (Pertama) Direksi Bank Indonesia dengan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Nomor 30/270/KEP/DIR-I/ BPPN/05/1998 tanggal 6 Maret 1998, di antaranya mensyaratkan bahwa pendaftaran hak tagih harus dilakukan oleh Bank Debitur melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan alamat Bank Indonesia dan pembayaran klaim juga harus diajukan melalui Bank Debitur. Namun Bank Kreditur tetap kesulitan mendapatkan pembayaran hak tagihnya dari Bank Debitur, terutama karena sebagian besar karyawan Bank Debitur yang memahami transaksi tidak lagi bekerja pada Bank Debitur dan manajemen Bank Debitur telah diambil oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Bahwa untuk mendapatkan hak tagih piutangnya tersebut Rudy Ramli telah berkali-kali menagih secara langsung maupun melalui pihak ketiga, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya Rudy Ramli mengalihkan hak tagihnya kepada Terpidana selaku Direktur PT Era Giat Prima sesuai dengan Perjanjian Cessie Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999, perjanjian tersebut kemudian diperbaharui dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 002/SP/EGP/I/1999 tanggal 11 Januari 1999, Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 005/SP/EGP/IV/1999 tanggal 12 April 1999 tentang penyerahan surat-surat berharga sebagai jaminan selambat- lambatnya pada tanggal 11 Juni 1999. Terpidana pun pernah mengajukan klaim hak tagih PT Bank Bali melalui surat kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Indonesia, namun pengajuan hak tagih tetap tidak berhasil.
Bahwa dalam progres berikutnya, pihak Perbanas, International Moneter Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB) mengajukan klaim dan protes kepada Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, bahwa keberadaan Surat Keputusan Bersama I (Pertama) tersebut dikeluhkan tidak realistis, menyebabkan tidak lancarnya pembayaran tagihan antar bank, mengancam likuiditas bank, bank yang semula sehat terancam masuk program penjaminan pemerintah, bank yang sakit malahan semakin bertambah sakit, sehingga akhirnya Surat Keputusan Bersama I (Pertama) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Indonesia, selanjutnya diganti dengan Surat Keputusan Bersama II (Kedua) Direksi Bank Indonesia dengan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Nomor 32/46/KEP/DIR-181/BPPN/ 05/99 tanggal 14 Mei 1999 yang berlaku untuk semua bank yang ikut program penjaminan pemerintah;
Bahwa Surat Keputusan Bersama II (Kedua) di antaranya mengatur bahwa pengajuan klaim tagihan antar bank dapat dimintakan langsung oleh Bank Kreditur kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan alamat Bank Indonesia, Bank Kreditur juga dapat langsung melakukan pendaftaran tagihan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional menggunakan Formulir 5 (lima) tanpa melalui Bank Debitur dan tanpa perlu melakukan pendaftaran ulang. Dengan demikian, PT Bank Bali Tbk selaku Bank Kreditur yang telah mengalihkan hak tagihnya kepada PT Era Giat Prima tidak perlu mendaftarkan ulang pengajuan pembayaran tagihannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional, bahkan Bank Kreditur dapat mendaftarkan langsung mengajukan pembayaran tagihannya tanpa melalui PT Bank Dagang Negara Indonesia selaku Bank Debitur;
Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bersama II (Kedua) tersebut, Rudy Ramli dan Firman Sutjahya yang mewakili PT Bank Bali Tbk selaku Bank Kreditur berkali-kali mendatangi Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk memproses pencairan hak tagihnya pada PT Bank Dagang Negara Indonesia. Meskipun berdasarkan keterangan Ahli Amin Sunaryadi yang menyatakan terhadap PT Bank Dagang Negara Indonesia belum dapat dilakukan verifikasi on site, karena manajemen PT Bank Dagang Negara Indonesia pada saat itu sedang pindah kantor dari gedung lama ke Gedung Atrium Senen, dan pejabat yang memahami transaksi tidak bekerja lagi pada PT Bank Dagang Negara Indonesia, namun karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang memiliki kewenangan otoritas pengawasan dan otoritas pembayaran klaim penjaminan pemerintah, disamping telah melakukan verifikasi on site terhadap PT Bank Bali Tbk, maka Badan Penyehatan Perbankan Nasional melakukan rekonsiliasi pada tanggal 5 April 1999 terhadap PT Bank Dagang Negara Indonesia dan PT Bank Bali Tbk sebagai salah satu cara dan bagian dari verifikasi on site, untuk saling mencocokkan terhadap dokumen-dokumen saldo giro bank, fasilitas over draft dan dokumen lainnya. Ternyata dokumen-dokumen tersebut telah cocok, seimbang, telah dicatatkan dalam pembukuan dan telah didokumentasikan oleh PT Bank Bali Tbk, tidak pernah ada teguran dari Bank Indonesia baik secara lisan maupun tertulis, ternyata semua pencatatan transaksi telah dilaksanakan dengan sinkron, tidak ditemukan ketidak-wajaran dan ketidak-benaran dalam transaksi antara PT Bank Bali Tbk dengan PT Bank Dagang Negara Indonesia Tbk, tidak ditemukan transaksi yang melanggar asas demokrasi ekonomi, tidak melanggar prinsip kehati- hatian dan tidak melanggar tingkat kesehatan bank sebagaimana diatur Pasal 2 juncto Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sehingga dalam perkara a quo tidak ditemukan adanya unsur melawan hukum secara pidana yang dilakukan Terpidana, baik secara formil maupun secara materiil, karena dana pembayaran tagihan yang dibayarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada PT Bank Bali sebesar Rp904.642.428.369,00 (sembilan ratus empat miliar enam ratus empat puluh dua juta empat ratus dua puluh delapan ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) dikompensasikan dengan aset-aset PT Bank Dagang Negara Indonesia yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan jumlah total sebesar Rp28.500.000.000.000,00 (dua puluh delapan triliun lima ratus miliar rupiah). Dengan demikian, secara materiil negara tidak dirugikan.
Bahwa dengan demikian, tidak ada prosedur yang disimpangi oleh Terpidana dalam proses pencairan dana piutang PT Bank Bali Tbk. Namun judex juris secara tidak tepat, keliru dan memperlihatkan kekhilafan hakim yang nyata, yang selalu mempertimbangkan bahwa proses pendaftaran, pengajuan dan pencairan atau pembayaran hak tagih dilakukan PT Bank Bali Tbk menggunakan Surat Keputusan Bersama I. Padahal sebaliknya, ternyata dan terbukti bahwa pengajuan pembayaran tagihan PT Bank Bali Tbk dilaksanakan berdasarkan dan menggunakan Surat Keputusan Bersama II (Kedua), sama sekali bukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama I (Pertama) yang telah dicabut.
Bahwa demikian pula terhadap Surat Kuasa Nomor 02/SK.EGP/III-99 tanggal 29 Maret 1999 dari PT Era Giat Prima kepada PT Bank Bali Tbk, dipertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan keterangan saksi Rudy Ramli sendiri selaku Direktur Utama PT Bank Bali Tbk yang diberikannya di bawah sumpah di muka sidang, ternyata dan terbukti surat kuasa tersebut justru terbukti sangat menguntungkan PT Bank Bali Tbk karena dimaksudkan supaya dana hasil pembayaran tagihan masuk ke rekening PT Bank Bali Tbk terlebih dahulu, bila tidak ada Surat Kuasa tersebut tentu semua dana pembayaran hak tagih akan langsung masuk ke rekening PT Era Giat Prima. Dengan kondisi seperti itu, tentu PT Bank Bali tidak bisa mengubahnya lagi karena telah terikat dengan perjanjian yang telah disepakati. Dengan demikian, terbukti pertimbangan judex juris tersebut sangat keliru dan merupakan kekhilafan Hakim yang lebih nyata, yang menyatakan bahwa Surat Kuasa tersebut dimaksudkan untuk menagih piutang kepada PT Bank Dagang Negara Indonesia;
Bahwa terhadap asumsi Penuntut Umum berikutnya yang dibenarkan judex juris bahwa Perjanjian Cessie Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 hanya merupakan perjanjian proforma, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terdapat indikasi penipuan dan menjadi nyata bahwa transaksi cessie tersebut adalah fiktif, karena tanpa diikuti dengan penyerahan dokumen bukti transaksi atau jaminan pembayaran dari Terpidana selaku Direktur PT Era Giat Prima kepada PT Bank Bali Tbk. Pertimbangan yuridis judex juris tersebut adalah keliru dan memperlihatkan kekhilafan hakim yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di muka sidang yang diperoleh dari persesuaian keterangan saksi Rudy Ramli, Rusli Suryadi, Firman Soetjahya yang diberikannya di bawah sumpah dan Terpidana sendiri, ternyata dan terbukti Perjanjian Cessie Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 telah memenuhi ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yaitu dalam melaksanakan penyerahan hak tagih piutang telah memperhatikan unsur-unsur perjanjian obligatoir yang mendahului peralihan hak tagih dan dilakukan oleh pihak-pihak yang berhak, telah memenuhi ketentuan Pasal 613 KUHPerdata yaitu penyerahan piutang atau hak ditagih dapat dilakukan dengan membuat akta autentik atau bahkan dapat dilakukan secara di bawah tangan, dan juga telah mememenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat- syarat sahnya suatu perjanjian yaitu PT Bank Bali Tbk sebagai cedent telah menyerahkan dokumen-dokumen transaksi SWAP dan Money Market kepada PT Era Giat Prima. Sedangkan kewajiban PT Era Giat Prima sebagai cessionaris terhadap PT Bank Bali Tbk sesuai Perjanjian Cessie Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 telah diperbaharui dengan Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 002/SP/EGP/I/1999 tanggal 11 Januari 1999, Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 005/SP/EGP/IV/1999 tanggal 12 April 1999 tentang penyerahan surat-surat berharga sebagai jaminan selambat-lambatnya pada tanggal 11 Juni 1999;
Bahwa sesuai Surat Perjanjian Penyelesaian Nomor 007/BB/CI/VI/99 tanggal 9 Juni 1999 dan Surat Perjanjian Penyelesaian Nomor 008/BB/CI/VI/99 tanggal 9 Juni 1999, selanjutnya disepakati antara PT Bank Bali Tbk dengan PT Era Giat Prima bahwa jaminan surat-surat berharga dari PT Era Giat Prima diganti dengan uang tunai sebesar 60% (enam puluh persen) dari nilai nominal surat berharga di pasaran, oleh karena pada saat itu nilai surat berharga di pasaran sedang jatuh anjlok, sedangkan di lain pihak PT Bank Bali Tbk sangat membutuhkan dana segar berupa uang tunai, akhirnya disepakati PT Bank Bali Tbk menerima uang tunai sebagai pengganti surat berharga dari PT Era Giat Prima sebesar Rp358.000.000.000,00 (tiga ratus lima puluh delapan miliar rupiah). Kesepakatan tersebut terbukti telah diterima dengan baik oleh PT Bank Bali Tbk selaku cedent dan PT Era Giat Prima selaku cessionaris. Dengan demikian, Surat Perjanjian Cessie Nomor 002/PT.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999, Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 002/SP/EGP/I/1999 tanggal 11 Januari 1999, Surat Pernyataan PT Era Giat Prima Nomor 005/SP/EGP/IV/1999 tanggal 12 April 1999, Surat Perjanjian Penyelesaian Nomor 007/BB/CI/VI/99 tanggal 9 Juni 1999 dan Surat Perjanjian Penyelesaian Nomor 008/BB/CI/VI/99 tanggal 9 Juni 1999 adalah sah, tidak proforma dan berlaku sebagai undang- undang dan mengikat para pihak PT Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima sebagaimana dimaksud Pasal 1338 KUHPerdata.
Bahwa selanjutnya, terlepas dari satu-satunya keterangan saksi Firman Sutjahya yang menyatakan pernah menghadiri pertemuan di Hotel Mulia pada tanggal 11 Februari 1999 yang dihadiri oleh Irvan Gunardwi, Syahril Sabirin, Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Tanri Abeng dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya, rapat dipimpin oleh A. A. Baramuli dan membahas tagihan PT Bank Bali Tbk yang tidak bisa dicairkan. Terlepas pula dari keterangan para saksi Irvan Gunardwi, Syahril Sabirin, Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Tanri Abeng dan A. A. Baramuli di muka sidang yang membantah keterangan saksi Firman Sutjahya tersebut, mereka di bawah sumpah menerangkan tidak pernah dihubungi Terpidana untuk mengadakan pertemuan di Hotel Mulia. Ataupun terlepas dari ada atau tidak adanya pertemuan di Hotel Mulia – quod non, namun dalam pertemuan tersebut atau pada pertemuan lainnya tidak satu pun diperoleh fakta hukum yang relevan yang menyatakan bahwa Terpidana telah mempengaruhi atau melakukan perbuatan melawan hukum secara pidana dalam hal pencairan dana tagihan PT Bank Bali Tbk.
Bahwa demikian pula berdasarkan keterangan saksi Subarjo Joyosumarto, Erman Munzir, Miranda S. Gultom, Irwan R. Prawiranata, Adnan Djuanda, Syahril Sabirin, Hifni Arkian, Desmi Demas, Elvina Simatupang, Bambang Subianto, Pande N. Lubis, Farid Haryanto, Eko Santoso Budianto dan R. Dodi Rushendra, masing-masing tidak kenal dengan Terpidana, mereka menyatakan tidak pernah dihubungi, tidak pernah dipengaruhi oleh Terpidana dalam hal pencairan dana tagihan PT Bank Bali Tbk.
Bahwa dengan adanya klaim dan protes dari International Moneter Fund, World Bank, Asian Development Bank dan Perbanas kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Bank Indonesia terhadap Surat Keputusan Bersama I (Pertama) yang tidak realistis dan menyebabkan tidak lancarnya pembayaran tagihan antar bank, kemudian Surat Keputusan Bersama I (Pertama) tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, serta sejak tanggal 14 Mei 1999 diganti dengan Surat Keputusan Bersama II (Kedua). Selanjutnya PT Bank Bali Tbk selaku bank kreditur mengajukan tagihan langsung kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan alamat Bank Indonesia, sampai akhirnya tagihan PT Bank Bali Tbk kepada PT Bank Dagang Negara Indonesia dibayarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Bersama II (kedua) dan langsung ditransfer ke rekening PT Bank Bali Tbk, sama sekali bukan melalui rekening PT Era Giat Prima, cukup membuktikan bahwa pembayaran hak tagih tersebut tidak ada hubungannya dengan Surat Perjanjian Cessie Nomor 002/P.EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 yang disepakati PT Bank Bali Tbk dengan PT Era Giat Prima.
D. Bahwa berdasarkan pertimbangan dan fakta hukum yang relevan secara yuridis tersebut di atas, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jkt.Sel tanggal 28 Agustus 2000 telah tepat mempertimbangkan dan memutuskan bahwa perbuatan materiil Terpidana sedemikian rupa itu merupakan dan masuk ranah hukum perdata yang harus diselesaikan di hadapan hakim perdata, dan menyatakan melepaskan Terpidana dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging);
E. Bahwa dengan demikian, permohonan peninjauan kembali Terpidana yang kedua kalinya beralasan hukum untuk dikabulkan, dan sesuai Pasal 263 ayat (2) huruf c juncto Pasal 266 ayat (2) huruf b angka 2 KUHAP terdapat cukup alasan hukum untuk membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012, dan mengadili kembali perkara a quo dengan menyatakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jkt.Sel. tanggal 28 Agustus 2000 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku;
F. Bahwa khusus terhadap amar putusan sekedar mengenai barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp546.468.544.738,00 (lima ratus empat puluh enam miliar empat ratus enam puluh delapan juta lima ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah) yang sebelumnya telah dilakukan penyitaan oleh Jaksa/Penuntut Umum, apabila telah dieksekusi oleh Jaksa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 tidak dapat secara serta merta dikembalikan kepada Terpidana, kecuali secara yuridis harus dilakukan melalui gugatan perdata ke pengadilan negeri.
Sebagaimana diketahui, Djoko dihukum 2 tahun penjara di kasus korupsi Rp 500 miliar lebih. Namun Djoko kabur ke Malaysia pada 2008 dan baru ditangkap pada 2020 setelah terendus hendak mengajukan PK.
Dalam mengajukan proses PK itu, Djoko menyuap sejumlah nama hingga membuat KTP palsu. Berikut ini daftar hukuman yang dijatuhkan kepada komplotan tersebut:
1. Djoko Tjandra, dihukum 2,5 tahun penjara di kasus surat palsu dan 4,5 tahun penjara di kasus korupsi menyuap pejabat. Selain itu, Djoko harus menjalani hukuman korupsi 2 tahun penjara di kasus korupsi cessie Bank Bali. MA juga memerintahkan agar dana yang disimpan di rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dikembalikan kepada negara.
Total yang harus dijalani Djoko adalah 9 tahun penjara.
2. Jaksa Pinangki hanya dituntut oleh sesama jaksa selama 4 tahun penjara saja. Awalnya Pinangki dihukum 10 tahun penjara tapi disunat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 4 tahun penjara. Anehnya, jaksa tidak kasasi atas putusan itu. Pinangki sudah bebas.
3. Irjen Napoleon divonis 4 tahun penjara. Kini Irjen Napoleon juga sedang disidik di kasus pencucian uang da kasus pemukulan sesama tahanan.
4. Brigjen Prasetijo divonis 3,5 tahun penjara.
5. Tommy Sumardi divonis 2 tahun penjara.
6. Andi Irfan divonis 6 tahun penjara.
7.Pengacara Anita Kolopaking, dihukum 2,5 tahun penjara.