Gaji PNS Dalam Perspektif Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

GadingNews.OPINI – Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat ini berdasarkan ketentuan peraturan-perundangan sering menjadi objek dalam hal tindak pidana korupsi. Judul artikel ini dipilih untuk dapat dijadikan wacana dan pertimbangan para pihak yang berwenang dalam penentuan kebijakan penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena banyaknya PNS dan penyelenggara negara yang terlibat kasus korupsi baik yang dijadikan tersangka melalui Operasi Tangkap Tangan oleh KPK ataupun operasi lainnya dalam rangka pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi. Penulis sendiri cukup bersinggungan dengan hal-hal yang demikian, sehingga penulis beranikan memilih tema ini untuk menjadi perhatian semua pihak dan kemajuan bangsa Indonesia.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Berdasarkan defenisi tersebut, maka gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya diatur dengan peraturan pemerintah.

Bacaan Lainnya

Pada tanggal 13 Maret 2019 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, dimana diatur dalam PP No.7 Tahun 1977 mengenai gaji pegawai negeri sipil yang terdiri dari gaji pokok, kenaikan gaji berkala dan kenaikan gaji istimewa, serta tunjangan.

Melihat besaran gaji PNS saat ini sebagaimana yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2019 memang cukup besar perbedaannya jika dibandingkan dengan PP No.7 Tahun 1977. Namun begitu coba kita bandingkan dengan upah minimum provinsi atau upah minimum kabupaten/kota yang notabene adalah pegawai nonpemerintah, dimana upah minimum tersebut dilakukan dan ditentukan berdasarkan kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Diatur dalam Pasal 43 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2015 bahwa Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 bulan. Unsur pasal tersebut yang harus digaris bawahi adalah lajang, layak secara fisik, dan jangka waktunya adalah satu bulan.

Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan data yang berasal dari beberapa sumber mengenai upah minimum dibeberapa provinsi dan kota besa di Indoensia tahun 2019, yaitu:

UMP kepri Rp2.769.754,-

UMP Sumut Rp2.303.403,-

UMP DKI Rp3.940.972,-

UMP Sulsel Rp2.860.382,-

UMP Papua Rp3.240.900,-

UMP Jatim Rp1.630.058,-

UMP Jabar Rp1.668.372,-

UMK Bandung Kota Rp3.339.580,-

UMK Surabaya Rp3.871.052,-

Upah minimum provinsi dan upah minimum kota disusun dengan berpedoman kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Komponen KHL ini terdiri dari; makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Data ini disajikan hanya sebagai ilustrasi, kemungkinan data tidak tepat dan akurat mohon dikoreksi untuk dimaklumi dikarenakan keterbatasan penulis.

Sekarang data tersebut diatas dibandingkan dengan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977, yaitu:

Gaji Golongan I, terendah Rp1.560.800,- tertinggi Rp2.686.800,-

Gaji Golongan II, terendah Rp2.022.200,- tertinggi Rp3.820.000,-

Gaji Golongan III, terendah Rp2.579.400,- tertinggi Rp4.797.000,-

Gaji Golongan IV, terendah Rp3.004.300,- tertinggi Rp5.901.200,-

Sebagai catatan kategori terendah dimaksud adalah masa kerja nol tahun, dan tertinggi adalah masa kerja 27 tahun untuk golongan I, 33 tahun untuk golongan II, 32 tahun untuk golongan III dan golongan IV.

Berdasarkan data-data yang disajikan di atas, dapat dilihat bahwa gaji PNS relatif sama dengan upah minimum provinsi dan upah minimum kota, yangmana telah kita ketahui bahwa upah minimum tersebut disusun berdasarkan KHL, sedangkan gaji PNS disusun dengan berpedoman pada laju inflasi. Perbedaan yang mendasar antara besaran upah minimum dengan gaji PNS adalah masa kerja, dimana untuk mendapatkan besaran gaji yang sama dengan upah minimum, seorang PNS harus mempunyai masa kerja tertentu. Sebagai contoh UMP DKI Jakarta dengan besaran Rp3.942.972,- hampir sama dengan gaji PNS golongan III.d dengan masa kerja dua puluh tahun atau PNS golongan II.d dengan masa kerja sekitar 33 tahun.

Harus diakui memang sebagai PNS mendapatkan tunjangan lainnya, seperti untuk PNS di daerah mendapatkan tunjangan daerah sesuai dengan kemampuan APBD daerahnya masing-masing, atau tunjangan kinerja lainnya bagi PNS pusat.  Tunjangan daerah tersebut untuk PNS yang tidak menduduki jabatan biasanya rata-rata mendapatkan sama dengan satu bulan gaji setiap bulannya, sedangkan yang memiliki jabatan rata-rata mendapatkan tunjangan sama dengan dua bulan untuk setiap bulannya. Jumlah pejabat PNS jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah PNS yang ada. Jadi rata-rata pendapatan seorang PNS setiap bulannya adalah dua kali dari gaji.

Merujuk pada judul artikel yang berkenaan dengan pencegahan korupsi melalui uraian singkat di atas, penulis melakukan pendekatan sosiologis dengan Gone theory, yang merupakan hasil pemikiran Jack Bologne yang memaparkan bahwa akar korupsi itu ada empat, yaitu:

Corruption by need (korupsi karena kebutuhan).

Corruption by greed (kebutuhan karena keserakahan).

Corruption by opportunity (kebutuhan karena adanya kesempatan).

Corruption by exposes (karena pengungkapan).

Berdasarkan Gone Theory dapat dilihat bahwa salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah karena kebutuhan, yang maksudnya adalah kebutuhan hidup sebagaimana komponen kebutuhan hidup layak yang  terdiri dari makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan survey kebutuhan layak, namun karena data terakhir yang penulis cari di situs BPS hanya sampai 2015, jadi penulis menggunakan nilai kebutuhan hidup layak di wilayah provinsi DKI Jakarta sebagai contoh atau ilustrasi dalam kurun waktu Juni– Agustus 2019, berdasarkan hasil survey dewan pengupahan adalah sebesar Rp3.908.020,-.

Nilai kebutuhan hidup layak provinsi DKI Jakarta tersebut hampir sama dengan besaran gaji seorang pegawai negeri sipil golongan III.d dengan masa kerja sekitar dua puluh tahun. Artinya bahwa besaran gaji PNS untuk masa kerja dan golongan di bawah golongan III.d dengan masa kerja kurang dari dua puluh tahun lebih rendah dari nilai kebutuhan hidup layak.

Seorang PNS dengan masa kerja di atas 10 tahun rata-rata sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang sudah bersekolah. Menurut hemat penulis, kondisi ini berdampak pada penghasilan seorang PNS tersebut akan cukup untuk memenuhi standar hidup layak, itupun setelah diakumulasikan dengan tunjangan kinerja. Hal ini memungkinkan seorang PNS karena untuk memenuhi kebutuhannya terkesan seolah-olah mempersulit urusan birokrasi untuk mendapatkan penghsilan lebih. Walaupun demikian cara ini bukan merupakan alasan pembenar untuk melakukan korupsi.

Ada baiknya pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan PNS yang seperti diuraikan di atas dengan lebih baik lagi, untuk peningkatan kesejahteraannya. Sehingga dapat meminimalisir kemungkinkan korupsi, karena tidak sedikit PNS yang belum dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup secara layak.

Lain halnya dengan korupsi yang dilakukan karena keserakahan (greedy), pola korupsi ini terjadi dikarenakan gaya hidup yang berlebihan dari seseorang dalam hal ini PNS atau penyelenggara negara, padahal secara pendapatan dan penghasilan yang sah jauh melebihi nilai kebutuhan hidup layak, namun karena sifat yang selalu merasa tidak pernah cukup dan selalu merasa kurang mengakibatkan terjadinya korupsi. Jika memang ini terjadi sudah seharusnya dilakukan penegakan hukum terhadap individu yang demikian.

Pos terkait