Gadingnews.com, Makassar – Nilai tukar rupiah jeblok melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Senin (13/6/2022). Tekanan bagi rupiah datang dari dalam dan luar negeri.
Dilansir dari data Refinitiv, Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung jeblok 0,34% le Rp 14.600/US$.
Tekanan dari dalam negeri datang dari kembali naikya jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) di Indonesia hingga nyaris 100% dalam sepekan.
Rata-rata penambahan kasus selama 7 hari hingga Sabtu kemairn tercatat sebanyak 504 kasus, dibandingkan sepekan sebelumnya 262 kasus. Secara persentase, rata-rata penambahan kasus tersebut melejit lebih dari 92%.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan kenaikan kasus tersebut diakibatkan varian baru yang sudah masuk ke Indonesia. Varian tersebut yakni Omicron BA.4 dan BA.5.
“Nah, untuk informasi teman-teman itu memang sudah ditemukan di Indonesia kemarin di Bali sudah ada 4 orang yang terkena BA.4 dan BA.5. Kita sekarang sudah monitor karena memang ini bisa menghindari imunitas vaksin, penyebarannya juga cepat sama seperti varian Omicron,” jelas Budi.
“Jadi kita sudah memastikan penyebab kasus naik pasti adanya varian baru,” tuturnya.
Meski begitu, kasus Covid-19 di Indonesia menurut BGS, sapaan akrabnya, masih terpantau baik. Penyebabnya adalah angkatpositivity ratedan transmisi kasus yang dilaporkan rendah.
Sejauh ini, hanya DKI Jakarta yang mencatatkan angka positivity rate pada level 3%. Sementara itu secara nasional masih dilaporkan berada di 1,1%.
“Tapi berhubung imunitasnya masih tinggi, kita lihat kenaikannya kasus masih dalam level yang aman,” katanya.
Bagaimana perkembangan kasus Covid-19 akan menjadi perhatian, apabila terus menunjukkan kenaikan ada risiko Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diketatkan, yang tentunya bisa berdampak negatif.
Sementara itu dari luar negeri, rupiah mengalami tekanan pasca rilis data inflasi di Amerika Serikat.
Data terbaru menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Mei 2022 melesat 8,6% year-on-year (yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981. Kemudian inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan naik 6% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm) inflasi naik 1% dan inflasi inti 0,6% (mtm).
Rilis inflasi tersebut membuat bank sentral AS (The Fed) akan tetap menaikkan suku bunga dengan agresif di tahun ini. Bahkan pasar melihat ada peluang The Fed menaikkan suku bunga hingga 75 basis poin saat pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/6/2022) nanti.
Hal tersebut terlihat dari perangkat FedWatch milik CNME group, di mana ada probabilitas sebesar 27,5% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% – 1,75%.
Probabilitas tersebut mengalami kenaikan dari hanya 1% saja sebelum rilis data inflasi.
Jika itu terjadi, artinya The Fed lebih agresif dari lagi, sebab pada bulan lalu sang ketua Jerome Powell menyatakan suku bunga akan dinaikkan sebesar 50 basis poin.
Tekanan dari dalam dan luar negeri tersebut akhirnya membuat rupiah terpuruk lagi.
(pap/aly)